20 Januari 2011

Warung di Sukawayana tak akan Direlokasi

SUKABUMI, (PRLM).- Pihak kehutanan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) selaku pemilik lahan Taman Wisata Alam (TWA) Sukawayana, Palabuhanratu dan CV Batu Alam (BA) selaku pemegang izin pengusahaan pariwisata di TWA Sukawayana, memberi kesempatan kepada para pedagang untuk tetap berjualan di kawasan TWA Sukawayana. Akan tetapi, mereka tidak boleh tinggal dan menetap di warungnya.
“Pernyataan itu disampaikan saat rapat internal tim penataan dan penertiban warung di TWA Sukawayana di Pendopo Sukabumi, kemarin,” kata Kasat Pol PP Kab. Sukabumi, Tendy Hendrayana ketika ditemui di kantornya di Palabuhanratu, Rabu (19/1).
Menurut dia, pernyataan BKSDA dan CV BA itu, menjadi solusi terbaik dalam penanganan warung-warung di TWA Sukawayana. Keberadaan warung-warung tersebut, tetap diarahkan untuk menempati kawasan TWA Sukawayana. Hal itu dengan pertimbangan melindungi mata pencahariannya. Sebab, para pedagang sudah puluhan tahun mengais rezeki di tempat itu. Sebaliknya, jika direlokasi ke tempat lain akan menimbulkan biaya tinggi dan persoalan baru.
“Kalau direlokasi, pasti mereka akan menuntut uang kompensasi pemindahannya. Selain itu, pemda pun tentunya harus mencari lahan di pinggir pantai yang cocok. Di sisi lain, pemda sendiri tidak punya tanah di pinggir pantai. Ditambah lagi, biaya penataan kembali warungnya. Jadi, biaya dan bebannya jauh lebih tinggi,” kata Tendy.
Oleh karena itu, kata dia, ketika pihak BKSDA dan CV BA memberi kesempatan kepada para pedagang untuk tetap berjualan di TWA Sukawayana, seperti gayung bersambut dengan program Pemkab Sukabumi yang akan menata 147 warung untuk tujuan pariwisata. “Jadi dalam penataan dan penertiban warung-warung ini, tidak ada istilah penggusuran, melainkan penataan warung untuk pariwisata,” ujarnya.
Lebih jauh Tendy menjelaskan, meski para pedagang masih bisa berjualan di TWA Sukawayana, tapi mereka tidak boleh tinggal dan menetap di warungnya. Sebab kekumuhan dan kesemrawutan warung di TWA Sukawayana itu, akibat mereka tinggal dan menetap di warung tersebut. Dikarenakan warungnya dipakai tempat tinggal, dampaknya mereka banyak yang menambah bangunan baru yang kumuh. Padahal, sebagian besar para pedagang punya rumah masing-masing di kampungnya. “Jadi dalam penataan nanti, para pedagang tidak boleh tinggal di warung. Warung tersebut hanya bisa dipakai untuk berjualan saja,” ujarnya.
Ia menambahkan, dengan memungsikan warung hanya untuk tempat berjualan, secara tidak langsung bisa mengurangi praktik prostitusi dan penjualan miras (minuman keras) di warung-warung remang tersebut. Sebab, bangunan tambahannya relatif banyak yang dibuat kamar hingga disalahgunakan untuk praktik mesum. “Kalau hanya untuk jualan saja, ukuran warungnya dibatasi. Kalau dibatasi, mereka tidak bisa lagi membuat kamar-kamar,” kata Tendy. (A-67/das)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar